I.
SEJARAH PERADABAN ISLAM
Kata peradaban (al-hadharat, civilisation)
seringkali didentikkan dengan kata kebudayaan (al-tsaqafah, culture). Dalam
bahasa Arab, selain disebut sebagai al- hadharat, peradaban terkadang juga
disebut dengan al-tamaddun. Karena itu tidaklah mengherankan apabila masyarakat
madani kemudian diterjemahkan menjadi masyarakat beradab atau civilsociety.
Peradaban mencakup aspek material maupun immaterial. Aspek material dicontohkan
oleh piramida dan patung Spinx Mesir, istana Al-Hamra, kastil Eropa abad
pertengahan, atau gedung WTC yang telah runtuh, sementara aspek immaterial
dicontohkan oleh ajaran Islam, ajaran Budha, filsafat Yunani, konfusianisme,
kapitalisme, atau sosialisme.
Manusia adalah makhluk yang berakal (al-hayawan al
nathiq), sehingga ia mampu berpikir secara progresif dalam membentuk
peradabannya. Manusia telah bergerak secara progresif dari jaman batu ke
jaman logam. Setiap jaman dimana manusia hidup pasti memiliki peradabannya
sendiri-sendiri. Kecanggihan peradaban tidaklah bisa dinilai secara absolut.
Suatu peradaban manusia bisa jadi sangat canggih pada masanya, namun ternyata
dinilai kuno oleh generasi sesudahnya. Demikianlah seterusnya, baik dalam
aspek material maupun immaterial. Dalam aspek material, kaum Aad, kaum Tsanud,
dan bangsa mesir Fir’aun telah mampu membangun gedung-gedung tinggi dan kokoh, sebagaimana
manusia saat ini telah mampu membangun gedung gedung pencakar langit.
Dalam aspek immaterial, setiap generasi telah
menciptakan sistem filsafat dan pemikirannya sendiri-sendiri, tanpa bisa
diklaim bahwa yang muncul belakangan lebih canggih daripada yang sebelumnya. Sejauh
yang dicatat oleh sejarah, kebudayaan atau peradaban besar telah muncul di Cina,
India, Babilonia, Mesopotamia, Yunani, Inka, Persia, Romawi, Arab, dan Eropa.
Jadi, peradaban besar telah muncul baik di timur (Cina, India, Babilonia, Mesopotamia,
Persia, danArab) maupun di barat (Yunani, Inka, Eropa). Dalam perkembangan
peradaban, suatu fenomena yang perlu dihadapi dengan serius ialah benturan
peradaban. Dalam segi peradaban umat manusia, Islam telah hadir lengkap dengan
nilai-nilai universalnya, dalam upaya memberikan pencerahan terhadap umat
manusia pada kurun waktu yang panjang, yakni mulai dari jaman Rasulullah SAW sampai sekarang dan pada area yang
sangat luas mulai dari Mekkah sampai hampir seluruh belahan dunia.
II. KONSEP KEBUDAYAAN dalam ISLAM
Menurut ahli budaya, kata kebudayaan
merupakan gabungan dari 2 kata, yaitu budi dan daya. Budi mengandung makna
akal, pikiran, paham, pendapat, perasaan. Daya mengandung makna tenaga,
kekuatan, kesanggupan. Jadi kebudayaan adalah kumpulan segala usaha dan upaya
manusia yang di kerjakan dengan mempergunakan hasil pendapat budi untuk
memperbaiki kesempurnaan hidup.
Al-Qur’an memandang kebudayaan itu sebagai
suatu proses, dan meletakan kebudayaan sebagai eksistensi hidup manusia.
Kebudayaan merupakan suatu totalitas kegiatan manusia yang meliputi kegiatan
akal hati dan tubuh yang menyatu dalam suatu perbuatan. Oleh karena itu secara
umum kebudayaan dapat dipahami sebagai hasil akal, budi, cipta rasa, karsa dan
karya manusia. Ia tidak mungkin terlepas dari nilai-nilai kemanusiaan, namun
bisa jadi lepas dari nilai-nilai Ketuhanan. Kebudayaan Islam berlandaskan pada nilai-nilai
tauhid. Islam sangat menghargai akal manusia untuk berkiprah dan berkembang.
Hasil akal, budi rasa, dan karsa yang telah terseleksi oleh nilai-nilai
kemanusiaan yang bersifat universal berkembang menjadi sebuah peradapan.
III.
ISLAM
BERSIFAT SUBLIMATIF dan KOREKTIF
Fungsi sublimatif ajaran agama adalah segala
usaha manusia, bukan saja yang bersifat agama melainkan juga yang bersifat duniawi.
Segala usaha manusia selama tidak bertentangan dengan norma-norma agama dan
dilakukan atas niat yang tulus, karena dan untuk Allah merupakan ibadah.
Sedangkan korektif,
berarti Islam tidak senang melihat sesuatu yang tidak semestinya, dan ingin
mengubahnya dengan yang lebih tepat dan lebih baik, meskipun mengenai diri
sendiri. Jadi Islam tidak tinggal diam saja. Tetapi koreksi pada diri sendiri
dan tidak boleh dilakukan dengan sembarangan, melainkan harus dengan adil dan
bijaksana. Kesalahan adalah kesalahan, sekalipun ada pada orang atau golongan
lain.
IV.
SEJARAH INTELEKTUAL ISLAM
Dengan menggunakan
teori yang dikembangkan oleh Harun Nasution, dilihat dari segi perkembangannya,
sejarah intelektual Islam dapat dikelompokkan menjadi tiga masa, yaitu masa
klasik, antara tahun 650 – 1250 M, masa pertengahan, antara tahun 1250 – 1800
M, dan masa modern atau kebangkitan intelektual Islam kembali, antara tahun
1800 M hingga sekarang dan seterusnya. Pada masa klasik lahir ulama-ulama besar
seperti Imam Hanafi, Imam Hambali, Imam Syafi’i, dan Imam Maliki dibidang Hukum
Islam. Dibidang filsafat Islam seperti Al-Kindi tahun 801 M, yang berpendapat
bahwa kaum Muslimin hendaknya menerima filsafat sebagai bagian dari kebudayaan
Islam. Kemudian Al-Razi lahir tahun 865 M, Al-Farabi lahir tahun 870 M, sebagai
pembangun agung filsafat Islam.
Maskawaih pada
tahun 930 M, yang terkenal memiliki pemikiran tentang Pendidikan Akhlak.
Selanjutnya Ibnu Sina tahun 1037 M, Ibnu Bajjah tahun 1138M, Ibnu Tufail tahun
1147 M, dan Ibnu Rusyd tahun 1126 M. Pada masa pertengahan, yaitu antara tahun
1250 – 1800 M, dalam catatan sejarah pemikiran Islam pada masa ini merupakan
fase kemunduran, karena filsafat mulai dijauhkan dari umat Islam sehingga ada
kecenderungan akal dipertentangkan dengan Wahyu, iman depertentangkan dengan
ilmu, dan dunia dipertentangkan dengan akhirat. Jika diperhatikan secara
seksama pengaruhnya masih terasa hingga sekarang. Sebagian ulama kontemporer
sering melontarkan tuduhan kepada Al-Ghazali sebagai yang pertama menjauhkan
filsafat dengan agama sebagaimana dalam tulisannya “Tahafutul Falasifah”
(kerancuan filsafat). Tulisan Al-Ghazali itu dijawab oleh Ibnu Rusyd dengan
tulisan “TahafutuTahafut” (kerancuan diatas kerancuan). Pada saat ini ada
pertanyaan mendasar yang sering dilontarkan oleh para intelektual muda muslim.
Mengapa umat Islam tidak bisa mengusai ilmu dan teknologi modern? Jawabannya
sangat sederhana, yaitu karena umat Islam tidak mau melanjutkan tradisi
keilmuan yang diwariskan oleh para ulama besar pada masa klasik. Pada masa
kejayaannya umat Islam terbuai dengan kemegahan yang bersifat material. Sebagai
contoh kasus pada zaman modern ini tidak lahir para ilmuwan dan tokoh-tokoh
kaliber dunia dikalangan umat Islam dari Negara-negara kaya di Timur Tengah.
Pada sisi yang lain umat Islam yang tinggal di Negara-negara bekas jajahan
sangat sulit membangun semangat kebangkitan intelektual Islam karena
keterbatasannya.
1.
Sejarah Intelektual Islam di Nusantara
Agama Islam telah muncul di kepulauan Nusantara sekitar
abad ke-8 dan 9 M dibawa oleh para pedagang Arab dan Parsi. Namun baru pada
abad ke-13 M, bersamaan dengan berdirinya kerajaan Samudra Pasai (1272-1450 M),
agama ini mulai berkembang dantersebar luas.Di kerajaan Islam besar tertua
inilah peradaban dan kebudayaan Islamtumbuh dan mekar. Sebagai kota dagang yang
makmur dan pusat kegiatan keagamaan yang utama di kepulauan Nusantara, Pasai
bukan saja menjadi tumpuan perhatian para pedagang Arab dan Parsi. Tetapi juga
menarik perhatian para ulama dan cendekiawan dari negeri Arab dan Parsi untuk
datang ke kota ini dengan tujuan menyebarkan agama dan mengembangkan ilmu
pengetahuan. Dalam kitab Rihlah (Paris 1893:230), Ibn Batutah yang
mengunjungi Sumatra pada tahun 1336 M, memberitakan bahwa raja dan bangsawan
Pasai sering mengundang para ulama dan cerdik pandai dari Arab dan Parsi untuk
membincangkan berbagai perkara agama dan ilmu-ilmu agama di istananya. Karena
mendapat sambutan hangat itulah merekasenang tinggal di Pasai dan membuka
lembaga pendidikan yang memungkinkan pengajaran Islam dan ilmu agama
berkembang.
Ilmu-ilmu yang diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan
Islam antara lain ialah: (1) Dasar-dasar Ajaran Islam; (2) Hukum Islam; (3)
Ilmu Kalam atau teologi; (4) Ilmu Tasawuf; (5) Ilmu Tafsir dan Hadis; (6) Aneka
ilmu pengetahuan lain yang penting bagi penyebaran agama Islam seperti ilmu
hisab, mantiq (logika), nahu (tatabahasa Arab), astronomi, ilmu ketabiban,
tarikh dan lain-lain. Selain ilmu-ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum, yang
diajarkan di lembaga pendidikan Islam pada masa itu ialah kesusastraan Arab dan
Parsi (Ismail Hamid 1983:2)
Salah satu karya intelektual Islam tertua yang dihasilkan
di Pasai ialah Hikayat Raja-raja Pasai. Kitab ini ditulis setelah
kerajaan ini ditaklukkan oleh Majapahit pada tahun 1365 (Ibrahim Alfian
1999:52). Dilihat dari sudut corak bahasa Melayu dan aksara yang digunakan,
karya ini rampung dikerjakan pada waktu bahasa Melayu telah benar-benar
mengalami proses islamisasi dan aksara Jawi, yaitu aksara Arab yang
dimelayukan, telah mulai mantap dan luas digunakan. Selanjutnya bahasa Melayu
Pasai dan aksara Jawi inilah yang digunakan oleh para penulis Muslimdi kepulauan
Nusantara sehingga akhir abad ke-19 M sebagai bahasa pergaulan utama di bidang
intelektual sebagaimana di bidang perdagangan dan administrasi (Collin 1992).
Setelah Pasai mengalami kemunduran, pusat kegiatan
kebudayaan dan penyebaran agama Islam pindah ke Malaka (1400-1511 M) dan
setelah Malaka ditalukkan Portugis maka pusat kebudayaan dan penyebaran agama
Islam pindah pula ke Aceh Darussalam (1516-1700 M).
Tetapi disayangkan bahwa naskah-naskah Melayu Islam yang
ditulis pada abad ke-14 dan 15 M hampir tidak ada yang sampai kepada kita
sekarang Naskah-naskah yang dijumpai, sebagian besar adalah salinan atau
gubahan yang ditulis pada abad ke-16 dan 17 M, khususnya di kota-kota pesisir
di lingkungan kesultananAceh seperti Barus, Pasai dan lain-lain. Hanya saja
yang jelas, sebagaimana pada zaman Hindu, sastra tampimedia utama penyampaian
gagasan dan ilmu-ilmu keagamaan. Kecenderungan ini terus melekat dalam
perkembangan sastra Melayu hingga abad ke-18 dan 19 M.
Dari kenyataan itu pula kita mengetahui bahwa sejak awal
terdapat beberapa jenis sastra yang digemari, yaitu karya bercorak sejarah,
cerita nabi-nabi, khususnya kisah di sekitar kehidupan dan perjuangan Nabi
Muhammad s.a.w., cerita berbingkai yang berfungsi sebagai pelipu r lara dan
sekaligus media pengajaran budi pekerti. Juga dari kenyataan tersebut kita
mengetahui bahwa tasawuf sangat mempengaruhi jiwa kaum terpelajar Muslim
Melayu.
2.
Zaman Peralihan
Taufik
Abdullah (2002) membagi sejarah pemikiran Islam di Nusantara dari abad ke-13
hingga pertengahan abad ke-19 M. Gelombang Pertama adalah gelombang
diletakkannya dasar-dasar kosmopolitanisme Islam, yaitu sikap budaya yang
menjadikan diri sebagai bagian dari masyarakat kosmopolitan dengan referensi
kebudayaan Islam. Gelombang ini terjadi sebelum dan setelah munculnya kerajaan
Samudra Pasai hingga akhir abad ke-14 M. Dalam Gelombang Kedua terjadi proses
islamisasi kebudayaan dan realitas secara besar-besaran.Islam dipakai sebagai
cermin untuk melihat dan memahami realitas. Pusaka lama dari zaman pra-Islam,
yang Syamanistik, Hinduistik dan Buddhistik ditransformasikan ke dalam situasi
pemikiran Islam dan tidak jarang dipahami sebagai sesuatu yang islami dari
sudut pandang doktrin.Gelombang ini terjadi bersamaan dengan munculnya
kesultanan Malaka (1400-1511) dan Aceh Darussalam (1516-1700). Dalam Gelombang
Ketiga, ketikapusat-pusat kekuasaan Islam di Nusantara mulai tersebar hampir
seluruh kepulauan Nusantara, pusat-pusat kekuasaan ini ‘seolah-olah’
berlomba-lomba melahirkan para ulama besar. Dalam gelombang inilah proses
ortodoksi Islam mengalami masa puncaknya. Ini terjadi pada abad ke-18 – 19 M.
Akhir
masa peralihan sebenarnya tidak dapat diberi batas yang jelas dalam sejarah
kesusastraan Melayu Islam, karena karya-karya yang ditulis atau digubah pada
abad ke-15 dan 16 M masih terus digubah kembali pada abad-abad berikutnya,
bahkan sampai abad ke-19 M, baik dalam bahasa Melayu maupun bahasa Jawa, Sunda,
Aceh, Bugis, Madura, Sasak, Banjar, Minangkabau, Makassar, Mandailing dan
lain-lain. Tetapi akhir abad ke-16 M dan awal abad ke-17 M, bersamaan dengan
berkembangnya kesultanan Aceh Darussalam sebagai kerajaan besar yang
berpengaruh di Asia Tenggara, gelombang kedua pemikiran Islam bermula dalam
arti sesungguhnya. Pada masa ini islamisasi realitas benar-benar dijalankan
secara penuh dan Islam dipakai sebagai cermin untuk melihat dan memahami
realitas kehidupan dalam hampir seluruh aspeknya. Dua gejala dominan yang
saling berhubungan muncul pada masa ini, yaitu kecenderungan melahirkan
renungan-renungan tasawuf dalam mempersoalkan hubungan manusia dengan Yang
Abadi, dan perumusan sistem kekuasaan yang memunculkan kitab tentang teori
kenegaraan (Taufik Abdullah 2002).Pada masa inilah muncul tokoh-tokoh besar di
bidang keagamaan dan sastra yang pemikirannya mewarnai dan menentukan
perkembangan intelektual Islam pada masa sesudahnya.
V.
MASJID
SEBAGAI PUSAT PERADABAN ISLAM
Keberadaan masjid sebagai
tempat ibadah umat Islam hendaknya menjadi pusat dari persemaian perdaban Islam
yang sangat ideal karena menyangkut berbagai persoalan bisa dibicarakan di
dalam masjid.
Pada zaman nabi, masjid digunakan untuk mensucikan
jiwa kaum muslimin, mengajarkan Al Qur'an dan Al Hikmah, bermusyawarah untuk
menyelesaikan berbagai macam persoalan kaum muslim pada zaman tersebut, membina
sikap dasar kaum muslimin terhadap perang yang berbeda agama atau ras, hingga
upaya-upaya meningkatkan kesejahteraan umat justru dari masjid.
Fungsi lainnya adalah,
masjid sebagai tempat berakhlaq mulia dan berorientasi menyelesaikan masalah. Contohnya
ketika ada orang Badui buang air kecil di masjid, Rasulullah melarang sahabat
menghakimi orang itu karena orang Badui itu memang tidak tahu etika di masjid.
Pada saat itulah nabi tampil sebagai penyelesai masalah dengan mengambil air
untuk membersihkan lantai masjid yang terkena najis karena kotoran orang Badui
tersebut.
Tapi realita saat ini belum
menunjukkan fungsi masjid yang ideal sebagaimana di zaman Rasulullah itu.
Padahal kalau diikuti, fungsi masjid di zaman Rasul itu sederhana tapi menunjukkan
suatu peradaban yang tinggi. Mengenai
nilai-nilai dalam Islam, Islam memiliki sedikitnya dua peradaban agung yang di
keyakinan lain mungkin tidak ditemui, yakni konsep "rahmatan lil
`aalamiin" (memberi rahmat bagi seluruh alam) dan "ukhuwah
Islamiah" (persaudaraan sesama Islam).
Konsep "rahmatan lil
`aalamiin" itu adalah trade mark Islam. Itu adalah peradaban tinggi karena
Islam melindungi seluruh isi alam ini. Ukhuwah Islamiah juga sebagai peradaban
karena menunjukkan adanya ikatan dasar sesama muslim dalam ketundukan kepada
Allah. Selain itu "ukhuwah Islamiah" juga menghilangkan permusuhan
yang tidak perlu. Memang ada permusuhan yang
perlu, yakni terhadap syetan. Kalau sesama muslim nabi mencontohkan bagaimana
beliau menyatukan orang-orang Ansor (penduduk Madinah) dengan kaum Muhajirin
(orang-orang pendatang) peran masjid dalam upaya membangun peradaban Islam bisa
dilihat dari konsep "rahmatan lill `aalamiin". Seharusnya konsep
tersebut dibangun dan dimulai dari masjid.
Masjid bukan hanya untuk
tempat salat, tapi juga untuk berdiskusi atau bahkan tempat umat Islam. Di
sinilah peran masjid harus diperluas sebagaimana yang seharusnya menjadi peran
masjid itu sendiri. Di
dalam fakta yang kita jumpai sehari-hari banyak orang awam, khususnya orang non
muslim yang beranggapan bahwa masjid cuma merupakan tempat beribadah bagi umat
Islam khususnya shalat. Padahal, pada hakikatnya masjid berfungsi lebih luas
dari pada sekedar tempat shalat (beribadah). Pada awal berdirinya masjid memang
belum bergeser dari fungsi utamanya, yaitu sebagai tempat shalat. Akan tetapi
perlu diketahui bahwa masjid di zaman nabi berfungsi sebagai pusat peradaban.
Bagaimana dengan fungsi masjid pada saat ini ? Tentu anda bisa menjawabnya.
Pada zamannya masjid dijadikan simbol persatuan umat
Islam. Selama sekitar 700 tahun sejak nabi mendirikan masjid pertama, fungsi
masjid masih kokoh dan orisinil sebagai pusat peribadatan dan peradaban. Pada
dasarnya, sekolah-sekolah dan universitas-universitas pun kemudian bermunculan
justru dari masjid. Sebagai salah satu contoh adalah Masjid Al Azhar di Kairo,
Mesir. Masjid ini sangat dikenal luas oleh kaum muslimin Indonesia. Masjid ini
mampu memberikan beasiswa bagi para pelajar dan mahasiswa, bahkan pengentasan
kemiskinan pun merupakan program nyata yang secara kontinyu dilaksanakan masjid
ini.
Tetapi lain halnya dengan saat ini, sekarang kita
akan sangat sulit menemukan masjid-masjid yang memiliki program nyata dibidang
pencerdasan keberagamaan umat. Kita mungkin tidak akan menemukan masjid yang memiliki
kurikulum terprogram dalam pembinaan keberagamaan umat, lebih-lebih lagi masjid
yang menyediakan beasiswa dan upaya pengentasan kemiskinan. Dalam perkembangan
berikutnya muncul kelompok-kelompok yang sadar untuk mengembalikan fungsi
masjid sebagaimana mestinya. Kini mulai tumbuh kesadaran umat akan pentingnya
peranan masjid untuk mencerdaskan dan mensejahterakan jamaahnya. Menurut ajaran
dalam Islam, masjid memiliki dua fungsi utama yaitu :
1. Sebagai
pusat ibadah ritual.
2. Sebagai
pusat ibadah sosial.
Dari kedua fungsi tersebut titik sentralnya, bahwa
fungsi utama masjid adalah sebagai pusat pembinaan umat islam.
VI.
NILAI-NILAI ISLAM dalam BUDAYA INDONESIA
Islam masuk ke Indonesia lengkap dengan budayanya.
Karena Islam lahir dan berkembang dari negeri Arab, maka Islam yang masuk
ke Indonesia tidak terlepas dari budaya Arabnya. Pada awal-awal masuknya
dakwah Islam ke Indonesia dirasakan sangat sulit membedakan mana ajaran Islam
dan mana budaya arab. Masyarakat awam menyamakan antara perilaku yang
ditampilkan oleh orang arab dengan perilaku ajaran Islam. Seolah-olah apa yang
dilakukan oleh orang arab itu semua mencerminkan ajaran Islam, bahkan hingga
kini budaya arab masih melekat pada tradisi masyarakat Indonesia.
Dalam perkembangan dakwah islam di Indonesia, para
da’i mendakwahkan ajaran islam melalui bahasa budaya, sebagaimana dilakukan
oleh para wali di tanah jawa. Karena kehebatan para wali Allah dalam
mengemas ajaran islam dengan bahasa budaya setempat, sehingga masyarakat tidak
sadar bahwa nilai-nilai islam telah masuk dan menjadi tradisi dalam kehidupan
sehari-hari mereka. Lebih jauh lagi bahwa nilai-nilai islam sudah menjadi
bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan mereka. Seperti dalam
upacara-upacara adapt dan dalam penggunaan bahasa sehari-hari. Bahasa
al-Qur’an/arab sudah banyak masuk ke dalam bahasa daerah bahkan ke dalam
bahasa Indonesia yang baku.Semua itu tanpa disadari bahwa apa yang dilakukannya
merupakan bagian dari ajaran islam.
Ajaran-ajaran Islam
yang bersifat komprehensif dan menyeluruh juga dapat disaksikan dalam hal
melaksanakan hari raya Idul Fitri 1 Syawal yang pada awalnya dirayakan secara
bersama dan serentak oleh seluruh umat Islam dimanapun mereka berada, namun
yang kemudian berkembang di Indonesia bahwa segenap lapisan masyarakat tanpa
pandang bulu dengan tidak memandang agama dan keyakinannya secara bersama-sama
mengadakan syawalan (halal bil halal) selama satu bulan penuh dalam
bulan syawal, hal inilah yang pada hakikatnya berasal dari nilai-nilai ajaran
Islam, yaitu mewujudkan ikatan tali persaudaraan di antara sesama handai tolan
dengan cara saling bersilaturahmi satu sama lain, sehingga dapat terjalin
suasana akrab dalam keluarga.
Berkaitan dengan
nilai-nilai Islam dalam kebudayaan Indonesia yang lain, juga dapat dikemukakan
yaitu sesuai dengan perkembangan zaman terutama ciri dan corak bangunan masjid
di Indonesia yang juga mengalami tumbuh kembang, baik terdiri dari
masjid-masjid tua maupun yang baru dibangun, misal masjid-masjid yang dibangun
oleh Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, pada umumnya hampir mirip dengan
bentuk joglo yang berseni budaya Jawa.
Perkembangan budaya
Islam yang terdapat pada masjid, secara nyata dapat ditunjukkan yaitu adanya
masjid-masjid tua yang kemudian diperbaiki dengan ditambah konstruksi baru atau
mengganti tiang-tiang kayu dengan tiang batu atau beton, lantai batu dengan
ubin dan dinding sekat dengan tembok kayu. Hal tersebut dapat dicontohkan
beberapa masjid yang menambah bangunan, yaitu Masjid Agung Banten (bangunan
menara dan madrasah), Masjid Menara Kudus (bangunan bagian depan berujud pintu
gerbang dan kubah dengan gaya arsitektur kayu Indonesia), Masjid Agung
Surakarta (bangunan pintu gerbang dan tembok keliling yang berlubang tiga pintu
dengan lengkung runcing dan menara tempel yang memiliki mahkota kubah,
merupakan hasil modifikasi pintu gerbang masjid-masjid di India. Masjid Sumenep
Madura (bangunan pintu gerbang bergaya arsitektur Eropa), Masjid Jami’ Padang
Panjang, Tanah Datar, Masjid Sarik (Bukittinggi), Masjid Sumatera Barat
(pembangunan puncak tumbang dengan mahkota kubah).
Beberapa masjid di
Indonesia yang mengedepankan corak yang demikian baru (modern), misal: Masjid
Raya Medan, Masjid Baiturrahman Banda Aceh yang mencontoh gaya arsitektur
masjid di India (Tim Penulis Ensiklopedi Islam, 1997: 172-173). Bangsa
Indonesia setelah meraih kemerdekaan juga banyak berdiri masjid-masjid model
baru, yaitu : Masjid Raya Makassar (Ujung Pandang), Masjid Syuhada
(Yogyakarta), Masjid Agung Al Azhar (Jakarta), Masjid Istiqlal (Jakarta),
Masjid Salman ITB (Bandung). Masjid mempunyai sejumlah komponen yaitu kubah,
menara, mihrab, dan mimbar; komponen masjid yang berciri khas Indonesia adalah
beduk. Beduk terbesar di Indonesia terdapat di dalam masjid Jami’ Purworejo,
dibuat oleh orang Indonesia dengan dirancang sesuai dengan njlai-nilai yang
berciri khas Islami dan berbudaya Indonesia. Islam sebagai agama rahmatan
lil alamin dapat dilihat dalam segala aspek kehidupan masyarakat di
Indonesia, baik dalam aspek sosial, politik, ekonomi, dan agama sehingga
nilai-nilai Islam, terutama yang terdapat dalam kebudayaan Indonesia secara
keseluruhan tidak dapat dihindari, hal ini sebagaimana telah dikemukakan pada
pembahasan tentang kebudayaan Islam yang ada di Indonesia.
Daftar pustaka
“Sejarah Peradaban Islam.”
Sumber : http://menaraislam.com/content/view/24/1/ (diakses tanggal 14 September 2012 pukul
13.15 WIB)
“Konsep Kebudayaan dalam Islam.”
Sumber : http://muceiimutia.blogspot.com/2011/01/konsep-kebudayaan-dalam-islam.html (diakses tanggal 15 September 2012 pukul
6:32 WIB)
“Islam Bersifat Sublimatif
dan Korektif.”
Sumber
:
1. http://www.scribd.com/doc/100100701/Agama-Islam
(15 Juni 2012)
“Sejarah Intelektual Islam.”
Sumber :
1. http://www.scribd.com/doc/48595986/26/Sejarah-Intelektual-Islam (04 April 2012)
2. http://ahmadsamantho.wordpress.com/2008/04/23/sejarah-intelektual-islam-di-nusantara-2/ (23 April 2012)
“Masjid sebagai pusat peradaban Islam.”
Sumber :
1. http://ensikloditya.blogspot.com/2011/01/fungsi-lain-dari-masjid-masjid- sebagai.html
2. http://iniakujune.blogspot.com/2011/01/masjid-sebagai-pusat- peradaban.html
“Nilai-nilai Islam dalam budaya Indonesia.”
No comments:
Post a Comment