Saturday 1 December 2012

Kebudayaan Islam - Pendidikan Agama Islam

I.          SEJARAH PERADABAN ISLAM
Kata peradaban (al-hadharat, civilisation) seringkali didentikkan dengan kata kebudayaan (al-tsaqafah, culture). Dalam bahasa Arab, selain disebut sebagai al- hadharat, peradaban terkadang juga disebut dengan al-tamaddun. Karena itu tidaklah mengherankan apabila masyarakat madani kemudian diterjemahkan menjadi masyarakat beradab atau civilsociety. Peradaban mencakup aspek material maupun immaterial. Aspek material dicontohkan oleh piramida dan patung Spinx Mesir, istana Al-Hamra, kastil Eropa abad pertengahan, atau gedung WTC yang telah runtuh, sementara aspek immaterial dicontohkan oleh ajaran Islam, ajaran Budha, filsafat Yunani, konfusianisme, kapitalisme, atau sosialisme.
Manusia adalah makhluk yang berakal (al-hayawan al nathiq), sehingga ia mampu berpikir secara progresif dalam membentuk peradabannya. Manusia telah bergerak secara progresif dari jaman batu ke jaman logam. Setiap jaman dimana manusia hidup pasti memiliki peradabannya sendiri-sendiri. Kecanggihan peradaban tidaklah bisa dinilai secara absolut. Suatu peradaban manusia bisa jadi sangat canggih pada masanya, namun ternyata dinilai kuno oleh generasi sesudahnya. Demikianlah seterusnya, baik dalam aspek material maupun immaterial. Dalam aspek material, kaum Aad, kaum Tsanud, dan bangsa mesir Fir’aun telah mampu membangun gedung-gedung tinggi dan kokoh, sebagaimana manusia saat ini telah mampu membangun gedung gedung pencakar langit.
Dalam aspek immaterial, setiap generasi telah menciptakan sistem filsafat dan pemikirannya sendiri-sendiri, tanpa bisa diklaim bahwa yang muncul belakangan lebih canggih daripada yang sebelumnya. Sejauh yang dicatat oleh sejarah, kebudayaan atau peradaban besar telah muncul di Cina, India, Babilonia, Mesopotamia, Yunani, Inka, Persia, Romawi, Arab, dan Eropa. Jadi, peradaban besar telah muncul baik di timur (Cina, India, Babilonia, Mesopotamia, Persia, danArab) maupun di barat (Yunani, Inka, Eropa). Dalam perkembangan peradaban, suatu fenomena yang perlu dihadapi dengan serius ialah benturan peradaban. Dalam segi peradaban umat manusia, Islam telah hadir lengkap dengan nilai-nilai universalnya, dalam upaya memberikan pencerahan terhadap umat manusia pada kurun waktu yang panjang, yakni mulai dari jaman Rasulullah SAW sampai sekarang dan pada area yang sangat luas mulai dari Mekkah sampai hampir seluruh belahan dunia.

  II.          KONSEP KEBUDAYAAN dalam ISLAM
Menurut ahli budaya, kata kebudayaan merupakan gabungan dari 2 kata, yaitu budi dan daya. Budi mengandung makna akal, pikiran, paham, pendapat, perasaan. Daya mengandung makna tenaga, kekuatan, kesanggupan. Jadi kebudayaan adalah kumpulan segala usaha dan upaya manusia yang di kerjakan dengan mempergunakan hasil pendapat budi untuk memperbaiki kesempurnaan hidup.
Al-Qur’an memandang kebudayaan itu sebagai suatu proses, dan meletakan kebudayaan sebagai eksistensi hidup manusia. Kebudayaan merupakan suatu totalitas kegiatan manusia yang meliputi kegiatan akal hati dan tubuh yang menyatu dalam suatu perbuatan. Oleh karena itu secara umum kebudayaan dapat dipahami sebagai hasil akal, budi, cipta rasa, karsa dan karya manusia. Ia tidak mungkin terlepas dari nilai-nilai kemanusiaan, namun bisa jadi lepas dari nilai-nilai Ketuhanan. Kebudayaan Islam berlandaskan pada nilai-nilai tauhid. Islam sangat menghargai akal manusia untuk berkiprah dan berkembang. Hasil akal, budi rasa, dan karsa yang telah terseleksi oleh nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal berkembang menjadi sebuah peradapan.

III.          ISLAM BERSIFAT SUBLIMATIF dan KOREKTIF
Fungsi sublimatif ajaran agama adalah segala usaha manusia, bukan saja yang bersifat agama melainkan juga yang bersifat duniawi. Segala usaha manusia selama tidak bertentangan dengan norma-norma agama dan dilakukan atas niat yang tulus, karena dan untuk Allah merupakan ibadah.
Sedangkan korektif, berarti Islam tidak senang melihat sesuatu yang tidak semestinya, dan ingin mengubahnya dengan yang lebih tepat dan lebih baik, meskipun mengenai diri sendiri. Jadi Islam tidak tinggal diam saja. Tetapi koreksi pada diri sendiri dan tidak boleh dilakukan dengan sembarangan, melainkan harus dengan adil dan bijaksana. Kesalahan adalah kesalahan, sekalipun ada pada orang atau golongan lain.

IV.          SEJARAH INTELEKTUAL ISLAM
Dengan menggunakan teori yang dikembangkan oleh Harun Nasution, dilihat dari segi perkembangannya, sejarah intelektual Islam dapat dikelompokkan menjadi tiga masa, yaitu masa klasik, antara tahun 650 – 1250 M, masa pertengahan, antara tahun 1250 – 1800 M, dan masa modern atau kebangkitan intelektual Islam kembali, antara tahun 1800 M hingga sekarang dan seterusnya. Pada masa klasik lahir ulama-ulama besar seperti Imam Hanafi, Imam Hambali, Imam Syafi’i, dan Imam Maliki dibidang Hukum Islam. Dibidang filsafat Islam seperti Al-Kindi tahun 801 M, yang berpendapat bahwa kaum Muslimin hendaknya menerima filsafat sebagai bagian dari kebudayaan Islam. Kemudian Al-Razi lahir tahun 865 M, Al-Farabi lahir tahun 870 M, sebagai pembangun agung filsafat Islam.
Maskawaih pada tahun 930 M, yang terkenal memiliki pemikiran tentang Pendidikan Akhlak. Selanjutnya Ibnu Sina tahun 1037 M, Ibnu Bajjah tahun 1138M, Ibnu Tufail tahun 1147 M, dan Ibnu Rusyd tahun 1126 M. Pada masa pertengahan, yaitu antara tahun 1250 – 1800 M, dalam catatan sejarah pemikiran Islam pada masa ini merupakan fase kemunduran, karena filsafat mulai dijauhkan dari umat Islam sehingga ada kecenderungan akal dipertentangkan dengan Wahyu, iman depertentangkan dengan ilmu, dan dunia dipertentangkan dengan akhirat. Jika diperhatikan secara seksama pengaruhnya masih terasa hingga sekarang. Sebagian ulama kontemporer sering melontarkan tuduhan kepada Al-Ghazali sebagai yang pertama menjauhkan filsafat dengan agama sebagaimana dalam tulisannya “Tahafutul Falasifah” (kerancuan filsafat). Tulisan Al-Ghazali itu dijawab oleh Ibnu Rusyd dengan tulisan “TahafutuTahafut” (kerancuan diatas kerancuan). Pada saat ini ada pertanyaan mendasar yang sering dilontarkan oleh para intelektual muda muslim. Mengapa umat Islam tidak bisa mengusai ilmu dan teknologi modern? Jawabannya sangat sederhana, yaitu karena umat Islam tidak mau melanjutkan tradisi keilmuan yang diwariskan oleh para ulama besar pada masa klasik. Pada masa kejayaannya umat Islam terbuai dengan kemegahan yang bersifat material. Sebagai contoh kasus pada zaman modern ini tidak lahir para ilmuwan dan tokoh-tokoh kaliber dunia dikalangan umat Islam dari Negara-negara kaya di Timur Tengah. Pada sisi yang lain umat Islam yang tinggal di Negara-negara bekas jajahan sangat sulit membangun semangat kebangkitan intelektual Islam karena keterbatasannya.

1.        Sejarah Intelektual Islam di Nusantara
Agama Islam telah muncul di kepulauan Nusantara sekitar abad ke-8 dan 9 M dibawa oleh para pedagang Arab dan Parsi. Namun baru pada abad ke-13 M, bersamaan dengan berdirinya kerajaan Samudra Pasai (1272-1450 M), agama ini mulai berkembang dantersebar luas.Di kerajaan Islam besar tertua inilah peradaban dan kebudayaan Islamtumbuh dan mekar. Sebagai kota dagang yang makmur dan pusat kegiatan keagamaan yang utama di kepulauan Nusantara, Pasai bukan saja menjadi tumpuan perhatian para pedagang Arab dan Parsi. Tetapi juga menarik perhatian para ulama dan cendekiawan dari negeri Arab dan Parsi untuk datang ke kota ini dengan tujuan menyebarkan agama dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Dalam kitab Rihlah (Paris 1893:230), Ibn Batutah yang mengunjungi Sumatra pada tahun 1336 M, memberitakan bahwa raja dan bangsawan Pasai sering mengundang para ulama dan cerdik pandai dari Arab dan Parsi untuk membincangkan berbagai perkara agama dan ilmu-ilmu agama di istananya. Karena mendapat sambutan hangat itulah merekasenang tinggal di Pasai dan membuka lembaga pendidikan yang memungkinkan pengajaran Islam dan ilmu agama berkembang.
Ilmu-ilmu yang diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan Islam antara lain ialah: (1) Dasar-dasar Ajaran Islam; (2) Hukum Islam; (3) Ilmu Kalam atau teologi; (4) Ilmu Tasawuf; (5) Ilmu Tafsir dan Hadis; (6) Aneka ilmu pengetahuan lain yang penting bagi penyebaran agama Islam seperti ilmu hisab, mantiq (logika), nahu (tatabahasa Arab), astronomi, ilmu ketabiban, tarikh dan lain-lain. Selain ilmu-ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum, yang diajarkan di lembaga pendidikan Islam pada masa itu ialah kesusastraan Arab dan Parsi (Ismail Hamid 1983:2)
Salah satu karya intelektual Islam tertua yang dihasilkan di Pasai ialah Hikayat Raja-raja Pasai. Kitab ini ditulis setelah kerajaan ini ditaklukkan oleh Majapahit pada tahun 1365 (Ibrahim Alfian 1999:52). Dilihat dari sudut corak bahasa Melayu dan aksara yang digunakan, karya ini rampung dikerjakan pada waktu bahasa Melayu telah benar-benar mengalami proses islamisasi dan aksara Jawi, yaitu aksara Arab yang dimelayukan, telah mulai mantap dan luas digunakan. Selanjutnya bahasa Melayu Pasai dan aksara Jawi inilah yang digunakan oleh para penulis Muslimdi kepulauan Nusantara sehingga akhir abad ke-19 M sebagai bahasa pergaulan utama di bidang intelektual sebagaimana di bidang perdagangan dan administrasi (Collin 1992).
Setelah Pasai mengalami kemunduran, pusat kegiatan kebudayaan dan penyebaran agama Islam pindah ke Malaka (1400-1511 M) dan setelah Malaka ditalukkan Portugis maka pusat kebudayaan dan penyebaran agama Islam pindah pula ke Aceh Darussalam (1516-1700 M).
Tetapi disayangkan bahwa naskah-naskah Melayu Islam yang ditulis pada abad ke-14 dan 15 M hampir tidak ada yang sampai kepada kita sekarang Naskah-naskah yang dijumpai, sebagian besar adalah salinan atau gubahan yang ditulis pada abad ke-16 dan 17 M, khususnya di kota-kota pesisir di lingkungan kesultananAceh seperti Barus, Pasai dan lain-lain. Hanya saja yang jelas, sebagaimana pada zaman Hindu, sastra tampimedia utama penyampaian gagasan dan ilmu-ilmu keagamaan. Kecenderungan ini terus melekat dalam perkembangan sastra Melayu hingga abad ke-18 dan 19 M.
Dari kenyataan itu pula kita mengetahui bahwa sejak awal terdapat beberapa jenis sastra yang digemari, yaitu karya bercorak sejarah, cerita nabi-nabi, khususnya kisah di sekitar kehidupan dan perjuangan Nabi Muhammad s.a.w., cerita berbingkai yang berfungsi sebagai pelipu r lara dan sekaligus media pengajaran budi pekerti. Juga dari kenyataan tersebut kita mengetahui bahwa tasawuf sangat mempengaruhi jiwa kaum terpelajar Muslim Melayu.

2.        Zaman Peralihan
Taufik Abdullah (2002) membagi sejarah pemikiran Islam di Nusantara dari abad ke-13 hingga pertengahan abad ke-19 M. Gelombang Pertama adalah gelombang diletakkannya dasar-dasar kosmopolitanisme Islam, yaitu sikap budaya yang menjadikan diri sebagai bagian dari masyarakat kosmopolitan dengan referensi kebudayaan Islam. Gelombang ini terjadi sebelum dan setelah munculnya kerajaan Samudra Pasai hingga akhir abad ke-14 M. Dalam Gelombang Kedua terjadi proses islamisasi kebudayaan dan realitas secara besar-besaran.Islam dipakai sebagai cermin untuk melihat dan memahami realitas. Pusaka lama dari zaman pra-Islam, yang Syamanistik, Hinduistik dan Buddhistik ditransformasikan ke dalam situasi pemikiran Islam dan tidak jarang dipahami sebagai sesuatu yang islami dari sudut pandang doktrin.Gelombang ini terjadi bersamaan dengan munculnya kesultanan Malaka (1400-1511) dan Aceh Darussalam (1516-1700). Dalam Gelombang Ketiga, ketikapusat-pusat kekuasaan Islam di Nusantara mulai tersebar hampir seluruh kepulauan Nusantara, pusat-pusat kekuasaan ini ‘seolah-olah’ berlomba-lomba melahirkan para ulama besar. Dalam gelombang inilah proses ortodoksi Islam mengalami masa puncaknya. Ini terjadi pada abad ke-18 – 19 M.
Akhir masa peralihan sebenarnya tidak dapat diberi batas yang jelas dalam sejarah kesusastraan Melayu Islam, karena karya-karya yang ditulis atau digubah pada abad ke-15 dan 16 M masih terus digubah kembali pada abad-abad berikutnya, bahkan sampai abad ke-19 M, baik dalam bahasa Melayu maupun bahasa Jawa, Sunda, Aceh, Bugis, Madura, Sasak, Banjar, Minangkabau, Makassar, Mandailing dan lain-lain. Tetapi akhir abad ke-16 M dan awal abad ke-17 M, bersamaan dengan berkembangnya kesultanan Aceh Darussalam sebagai kerajaan besar yang berpengaruh di Asia Tenggara, gelombang kedua pemikiran Islam bermula dalam arti sesungguhnya. Pada masa ini islamisasi realitas benar-benar dijalankan secara penuh dan Islam dipakai sebagai cermin untuk melihat dan memahami realitas kehidupan dalam hampir seluruh aspeknya. Dua gejala dominan yang saling berhubungan muncul pada masa ini, yaitu kecenderungan melahirkan renungan-renungan tasawuf dalam mempersoalkan hubungan manusia dengan Yang Abadi, dan perumusan sistem kekuasaan yang memunculkan kitab tentang teori kenegaraan (Taufik Abdullah 2002).Pada masa inilah muncul tokoh-tokoh besar di bidang keagamaan dan sastra yang pemikirannya mewarnai dan menentukan perkembangan intelektual Islam pada masa sesudahnya.

  V.          MASJID SEBAGAI PUSAT PERADABAN ISLAM
Keberadaan masjid sebagai tempat ibadah umat Islam hendaknya menjadi pusat dari persemaian perdaban Islam yang sangat ideal karena menyangkut berbagai persoalan bisa dibicarakan di dalam masjid. Pada zaman nabi, masjid digunakan untuk mensucikan jiwa kaum muslimin, mengajarkan Al Qur'an dan Al Hikmah, bermusyawarah untuk menyelesaikan berbagai macam persoalan kaum muslim pada zaman tersebut, membina sikap dasar kaum muslimin terhadap perang yang berbeda agama atau ras, hingga upaya-upaya meningkatkan kesejahteraan umat justru dari masjid.
Fungsi lainnya adalah, masjid sebagai tempat berakhlaq mulia dan berorientasi menyelesaikan masalah. Contohnya ketika ada orang Badui buang air kecil di masjid, Rasulullah melarang sahabat menghakimi orang itu karena orang Badui itu memang tidak tahu etika di masjid. Pada saat itulah nabi tampil sebagai penyelesai masalah dengan mengambil air untuk membersihkan lantai masjid yang terkena najis karena kotoran orang Badui tersebut.
Tapi realita saat ini belum menunjukkan fungsi masjid yang ideal sebagaimana di zaman Rasulullah itu. Padahal kalau diikuti, fungsi masjid di zaman Rasul itu sederhana tapi menunjukkan suatu peradaban yang tinggi. Mengenai nilai-nilai dalam Islam, Islam memiliki sedikitnya dua peradaban agung yang di keyakinan lain mungkin tidak ditemui, yakni konsep "rahmatan lil `aalamiin" (memberi rahmat bagi seluruh alam) dan "ukhuwah Islamiah" (persaudaraan sesama Islam).
Konsep "rahmatan lil `aalamiin" itu adalah trade mark Islam. Itu adalah peradaban tinggi karena Islam melindungi seluruh isi alam ini. Ukhuwah Islamiah juga sebagai peradaban karena menunjukkan adanya ikatan dasar sesama muslim dalam ketundukan kepada Allah. Selain itu "ukhuwah Islamiah" juga menghilangkan permusuhan yang tidak perlu. Memang ada permusuhan yang perlu, yakni terhadap syetan. Kalau sesama muslim nabi mencontohkan bagaimana beliau menyatukan orang-orang Ansor (penduduk Madinah) dengan kaum Muhajirin (orang-orang pendatang) peran masjid dalam upaya membangun peradaban Islam bisa dilihat dari konsep "rahmatan lill `aalamiin". Seharusnya konsep tersebut dibangun dan dimulai dari masjid.
Masjid bukan hanya untuk tempat salat, tapi juga untuk berdiskusi atau bahkan tempat umat Islam. Di sinilah peran masjid harus diperluas sebagaimana yang seharusnya menjadi peran masjid itu sendiri. Di dalam fakta yang kita jumpai sehari-hari banyak orang awam, khususnya orang non muslim yang beranggapan bahwa masjid cuma merupakan tempat beribadah bagi umat Islam khususnya shalat. Padahal, pada hakikatnya masjid berfungsi lebih luas dari pada sekedar tempat shalat (beribadah). Pada awal berdirinya masjid memang belum bergeser dari fungsi utamanya, yaitu sebagai tempat shalat. Akan tetapi perlu diketahui bahwa masjid di zaman nabi berfungsi sebagai pusat peradaban. Bagaimana dengan fungsi masjid pada saat ini ? Tentu anda bisa menjawabnya.
Pada zamannya masjid dijadikan simbol persatuan umat Islam. Selama sekitar 700 tahun sejak nabi mendirikan masjid pertama, fungsi masjid masih kokoh dan orisinil sebagai pusat peribadatan dan peradaban. Pada dasarnya, sekolah-sekolah dan universitas-universitas pun kemudian bermunculan justru dari masjid. Sebagai salah satu contoh adalah Masjid Al Azhar di Kairo, Mesir. Masjid ini sangat dikenal luas oleh kaum muslimin Indonesia. Masjid ini mampu memberikan beasiswa bagi para pelajar dan mahasiswa, bahkan pengentasan kemiskinan pun merupakan program nyata yang secara kontinyu dilaksanakan masjid ini.
Tetapi lain halnya dengan saat ini, sekarang kita akan sangat sulit menemukan masjid-masjid yang memiliki program nyata dibidang pencerdasan keberagamaan umat. Kita mungkin tidak akan menemukan masjid yang memiliki kurikulum terprogram dalam pembinaan keberagamaan umat, lebih-lebih lagi masjid yang menyediakan beasiswa dan upaya pengentasan kemiskinan. Dalam perkembangan berikutnya muncul kelompok-kelompok yang sadar untuk mengembalikan fungsi masjid sebagaimana mestinya. Kini mulai tumbuh kesadaran umat akan pentingnya peranan masjid untuk mencerdaskan dan mensejahterakan jamaahnya. Menurut ajaran dalam Islam, masjid memiliki dua fungsi utama yaitu :
1.    Sebagai pusat ibadah ritual.
2.    Sebagai pusat ibadah sosial.
Dari kedua fungsi tersebut titik sentralnya, bahwa fungsi utama masjid adalah sebagai pusat pembinaan umat islam.
  
VI.          NILAI-NILAI ISLAM dalam BUDAYA INDONESIA
Islam masuk ke Indonesia lengkap dengan budayanya. Karena Islam lahir dan berkembang dari negeri Arab, maka Islam yang masuk ke Indonesia tidak terlepas dari budaya Arabnya. Pada awal-awal masuknya dakwah Islam ke Indonesia dirasakan sangat sulit membedakan mana ajaran Islam dan mana budaya arab. Masyarakat awam menyamakan antara perilaku yang ditampilkan oleh orang arab dengan perilaku ajaran Islam. Seolah-olah apa yang dilakukan oleh orang arab itu semua mencerminkan ajaran Islam, bahkan hingga kini budaya arab masih melekat pada tradisi masyarakat Indonesia.
Dalam perkembangan dakwah islam di Indonesia, para da’i mendakwahkan ajaran islam melalui bahasa budaya, sebagaimana dilakukan oleh para wali di tanah jawa. Karena kehebatan para wali Allah dalam mengemas ajaran islam dengan bahasa budaya setempat, sehingga masyarakat tidak sadar bahwa nilai-nilai islam telah masuk dan menjadi tradisi dalam kehidupan sehari-hari mereka. Lebih jauh lagi bahwa nilai-nilai islam sudah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan mereka. Seperti dalam upacara-upacara adapt dan dalam penggunaan bahasa sehari-hari. Bahasa al-Qur’an/arab sudah banyak masuk ke dalam bahasa daerah bahkan ke dalam bahasa Indonesia yang baku.Semua itu tanpa disadari bahwa apa yang dilakukannya merupakan bagian dari ajaran islam.
Ajaran-ajaran Islam yang bersifat komprehensif dan menyeluruh juga dapat disaksikan dalam hal melaksanakan hari raya Idul Fitri 1 Syawal yang pada awalnya dirayakan secara bersama dan serentak oleh seluruh umat Islam dimanapun mereka berada, namun yang kemudian berkembang di Indonesia bahwa segenap lapisan masyarakat tanpa pandang bulu dengan tidak memandang agama dan keyakinannya secara bersama-sama mengadakan syawalan (halal bil halal) selama satu bulan penuh dalam bulan syawal, hal inilah yang pada hakikatnya berasal dari nilai-nilai ajaran Islam, yaitu mewujudkan ikatan tali persaudaraan di antara sesama handai tolan dengan cara saling bersilaturahmi satu sama lain, sehingga dapat terjalin suasana akrab dalam keluarga.
Berkaitan dengan nilai-nilai Islam dalam kebudayaan Indonesia yang lain, juga dapat dikemukakan yaitu sesuai dengan perkembangan zaman terutama ciri dan corak bangunan masjid di Indonesia yang juga mengalami tumbuh kembang, baik terdiri dari masjid-masjid tua maupun yang baru dibangun, misal masjid-masjid yang dibangun oleh Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, pada umumnya hampir mirip dengan bentuk joglo yang berseni budaya Jawa.
Perkembangan budaya Islam yang terdapat pada masjid, secara nyata dapat ditunjukkan yaitu adanya masjid-masjid tua yang kemudian diperbaiki dengan ditambah konstruksi baru atau mengganti tiang-tiang kayu dengan tiang batu atau beton, lantai batu dengan ubin dan dinding sekat dengan tembok kayu. Hal tersebut dapat dicontohkan beberapa masjid yang menambah bangunan, yaitu Masjid Agung Banten (bangunan menara dan madrasah), Masjid Menara Kudus (bangunan bagian depan berujud pintu gerbang dan kubah dengan gaya arsitektur kayu Indonesia), Masjid Agung Surakarta (bangunan pintu gerbang dan tembok keliling yang berlubang tiga pintu dengan lengkung runcing dan menara tempel yang memiliki mahkota kubah, merupakan hasil modifikasi pintu gerbang masjid-masjid di India. Masjid Sumenep Madura (bangunan pintu gerbang bergaya arsitektur Eropa), Masjid Jami’ Padang Panjang, Tanah Datar, Masjid Sarik (Bukittinggi), Masjid Sumatera Barat (pembangunan puncak tumbang dengan mahkota kubah).
Beberapa masjid di Indonesia yang mengedepankan corak yang demikian baru (modern), misal: Masjid Raya Medan, Masjid Baiturrahman Banda Aceh yang mencontoh gaya arsitektur masjid di India (Tim Penulis Ensiklopedi Islam, 1997: 172-173). Bangsa Indonesia setelah meraih kemerdekaan juga banyak berdiri masjid-masjid model baru, yaitu : Masjid Raya Makassar (Ujung Pandang), Masjid Syuhada (Yogyakarta), Masjid Agung Al Azhar (Jakarta), Masjid Istiqlal (Jakarta), Masjid Salman ITB (Bandung). Masjid mempunyai sejumlah komponen yaitu kubah, menara, mihrab, dan mimbar; komponen masjid yang berciri khas Indonesia adalah beduk. Beduk terbesar di Indonesia terdapat di dalam masjid Jami’ Purworejo, dibuat oleh orang Indonesia dengan dirancang sesuai dengan njlai-nilai yang berciri khas Islami dan berbudaya Indonesia. Islam sebagai agama rahmatan lil alamin dapat dilihat dalam segala aspek kehidupan masyarakat di Indonesia, baik dalam aspek sosial, politik, ekonomi, dan agama sehingga nilai-nilai Islam, terutama yang terdapat dalam kebudayaan Indonesia secara keseluruhan tidak dapat dihindari, hal ini sebagaimana telah dikemukakan pada pembahasan tentang kebudayaan Islam yang ada di Indonesia.


Daftar pustaka

“Sejarah Peradaban Islam.”
Sumber : http://menaraislam.com/content/view/24/1/ (diakses tanggal 14 September 2012 pukul 13.15 WIB)

“Konsep Kebudayaan dalam Islam.”
Sumber : http://muceiimutia.blogspot.com/2011/01/konsep-kebudayaan-dalam-islam.html (diakses tanggal 15 September 2012 pukul 6:32 WIB)

“Islam Bersifat Sublimatif dan Korektif.”
Sumber :
         1.  http://www.scribd.com/doc/100100701/Agama-Islam (15 Juni 2012)

“Sejarah Intelektual Islam.”
Sumber :
   1. http://www.scribd.com/doc/48595986/26/Sejarah-Intelektual-Islam (04 April 2012)
   2. http://ahmadsamantho.wordpress.com/2008/04/23/sejarah-intelektual-islam-di-nusantara-2/ (23 April 2012)

“Masjid sebagai pusat peradaban Islam.”
Sumber :
  1. http://ensikloditya.blogspot.com/2011/01/fungsi-lain-dari-masjid-masjid- sebagai.html
  2. http://iniakujune.blogspot.com/2011/01/masjid-sebagai-pusat- peradaban.html


“Nilai-nilai Islam dalam budaya Indonesia.”
Sumber : http://www.scribd.com/doc/48595986/28/Nilai-nilai-Islam-dalam-budaya-Indonesia (diakses tanggal 13 September 2012 pukul 14:00 WIB)

No comments:

Post a Comment